Cassis
Senyum
itu, entah mengapa aku begitu merindukannya. Aku merindukan dekapan hangat yang
mampu menenggelamkanku dalam damai, seandainya saja dia masih disini.
Seandainya. Ya, seandainya! Karena kenyataannya dia takkan pernah bisa kembali
padaku. Terhalang oleh labirin tipis yang memisahkanku dengannya. Tipis memang,
namun tidak ada yang bisa menghancurkannya. Aku ataupun dia. Tidak ada!
Aku
benar-benar merasa bodoh, aku menyesal. Sungguh aku menyesal. Maafkan aku, aku
memang seorang pecundang. Aku terlalu takut. Aku takut menyakitinya, menggoreskan
luka dihatinya, aku tak ingin lagi melihatnya menangis karena perbuatanku. Aku
benar-benar tidak sanggup jika melihatnya terus seperti ini, menagis dalam
diam. Menelan semua kesulitan yang dia hadapi sendiri. Aku selalu mengulangi
kesalahan yang sama, membuatnya selalu menagis. Membuatnya selalu terluka
karena hatiku yang belum bisa melangkah menjauh dari bayang masalalu.
Terlalu
menyakitkan untuk sekedar menyentuhnya. Saat aku belum bisa sepenuhnya melupakan
seseorang dimasa lalu, dia tidak banyak bertanya. Dia hanya diam dan menggengga
tanganku erat. Memberiku kekuatan yang dia salurkan melalui genggaman tangannya.
Hangat, perasaan itu menyelimutiku kala itu. Walaupun dia tersenyum, aku tau
hatinya terluka.
Berhentilah
bersandiwara! Aku tau hatinya menangis, aku tau. Tapi apa yang bisa kulakukan
jika dia selalu saja berkata “Daijoubu yo!” setiap aku bertanya tentang
keadaannya. Senyum itu terlihat getir, aku tau dia mencoba untuk menjadi lebih
kuat menghadapi kenyataan. Berhentilah! Kumohon… karena itu membuatku menjadi
manusia paling bodoh yang tidak bisa berbuat apa-apa saat orang yang ku cintai
harus menanggung semua kesedihannya sendiri. Aku menyayanginya… ah, bukan, aku
mencintainya. Terlalu mencintainya.
Ingin
rasanya aku menghapus air mata yang mengalir membasahi pipi putihnya, namun aku
tidak pernah membiarkan tanganku menyentuhnya. Dia bagaikan kaca tipis yang
akan remuk jika disentuh, aku sudah banyak membuatnya terluka. Membuat air
matanya selalu mengalir saat aku meninggalkannya sendiri. Tuhan… betapa
bodohnya aku menyia-nyiakan orang berhati malaikat seperti dia. Mengapa aku
begitu kejam sehingga membuatnya selalu menangis, air matanya terlalu berharga
Tuhan… kumohon, berikan kebahagiaan untuknya. Bantu aku melupakan masalaluku,
aku sangat mencintai malaikatku Tuhan, kumohon bebaskan aku…
“Yoss…!
Ayo kita tata masa depan, kau tidak harus selalu melihat kebelakang. Semua
pasti akan baik-baik saja!” itulah yang selalu dia katakan saat aku mulai lelah
untuk berjalan, saat aku mulai putus asa. Mungkin jika dia tidak ada, aku sudah
bunuh diri. Haaah… dia benar-benar malaikatku, malaikat penyelamatku. Dan
dialah alasanku untuk hidup, menjalani hidup yang kurasa sungguh tidak adil.
Dia adalah orang yang mengajarkanku arti cinta dan pengorbanan. Dia juga yang
menunjukkan padaku bahwa masih ada cinta yang bisa kudapatkan saat aku
kehilangan cinta yang lain.
Tapi
kurasa dia salah, aku memang mendapatkan cinta yang lebih besar saat aku
kehilangan cinta dimasa lalu. Namun, adakah ada cinta yang lebih besar yang
bisa kudapatkan selain cintanya? Orang yang membiarkan dirinya terluka demi
membuatku bahagia, yang membiarkan hatinya tersakiti asalkan aku bahagia.
Siapa? Siapa yang bisa memberiku cinta
tulus seperti yang dia berikan padaku? Apa ini yang dia rasakan saat
melihatku tertawa dengan orang lain? Atau lebih menyakitkan dari ini? Tolong
katakan padaku, aku tidak ingin menjadi orang paling jahat yang selalu
membuatnya menagis sendiri.
“Kau
harus tetap bertahan, aku yakin kau bisa. Jangan menangis, tetaplah tersenyum
apapun yang terjadi. Maaf aku tidak bisa lagi menjagamu.”
Ya,
dia meninggalkanku. Saat aku menyentuhnya untuk yang pertama dan terakhir.
Mengapa takdir selalu kejam? Mempermainkanku. Belum cukup puaskah takdir itu
menjatuhkanku sebelum dia –malaikatku— datang padaku? Belum cukupkah takdir
menyiksaku saat aku melihat dia menangis dan selalu tersenyum palsu didepanku?
Apa itu belum cukup?
Aku
lelah, bahkan terlalu lelah untuk menagis. Maaf aku tidak bisa mengabulkan
keinginan terakhirnya, keinginan sederhana namun terasa sulit. Semakin kucoba
untuk berlari, semakin jelas bayangannya. Tersenyum katanya, aku bahkan sudah
lupa bagaimana aku tersenyum. Bertahan hidup? Untuk apa? Tidak ada lagi alasan
untukku bertahan. Dialah nafasku, dialah detak jantungku. Dan kini dia pergi
dan aku takkan pernah bisa bertemu dengannya lagi, selamanya. Lalu apa yang
harus ku pertahankan?
Setiap
malam yang ku hitung aku semakin merindukannya, mungkin ini hukumanku. Dia pergi
saat aku akan menyatakan perasaanku padanya, perasaan yang sudah lama ku pendam
untuknya. Mencari waktu yang tepat, namun berujung petaka. Kami memang sepasang
kekasih, tapi aku tidak pernah mengatakan bahwa aku juga mencintainya.
Sakit,
sesak, sedih, perih. Entahlah aku tidak tau, saat ini aku benar-benar dalam
titik terlemahku. Dadaku sesak setiap aku mengingat wajahnya yang basah karena
air mata. Aku ingin menemuinya, ah… kurasa bersamanya lebih tepat.
Kini
aku berdiri ditempat peristirahatan terakhirnya, dimana dia sedang tertidur
damai disana. ‘Apa kau bahagia disana? Mengapa kau tidak membawaku pergi bersamamu? Tidakkah kau tau kaulah
alasanku untuk tetap bertahan hidup!’ kata-kata itu selalu keluar dari mulutku
saat berada ditempat ini. Aku lelah… semua yang dia katakan salah. Hidupku
tidak baik-baik saja tanpanya, tanpa semangatnya.
‘Suzuki
Akira’
Ya,
dia adalah nyawaku yang selama ini menjadi alasanku untuk tetap hidup. Yang
selama ini menjadi malaikat yang menjagaku, orang yang mamu memberiku kehangatan
lewat genggaman tangannya. Pria rapuh yang selalu bersembunyi dibalik sikapnya
yang so kuat, kini tengah ‘tertidur’ untuk selamanya.
#Normal
POV
Sebuah
mobil sport tenga melaju dengan kecepatan tinggi. Seorang pemuda cantik yang
tengah duduk dikursi kemudi memicingkan matanya sesekali, memastikan jalan yang
ada didepannya. Namun pengaruh alkohol membuat pandangannya tetap buram. Ya,
pria cantik itu mabuk.
“Aku…
hiks… aku merindukanmu!” racaunya. Kesadarannya semakin menurun sehingga mobil
yang dikemudikan dengan kecepatan tinggi itu melenceng dan menabrak pembatas
jalan tanpa sempat dihindari.
CRAAASSSS!!!
BRAAAKKK!!!
Tubuh kurus pria malang itu menghantam keras jendela depan mobil hingga pecah, kecerobohannya tidak memakai seatbelt nyatanya berujung fatal. Kepulan
asap pekat mengepul dibagian depan mobil, kaca bagian depannya pecah, sedangkan
pria cantik itu kini tengah tersungkur diaspal dengan darah mengalir
dimana-mana. Badannya terasa ngilu, namin bibir pria cantik itu menyunggingkan sebuah senyum, senyum tipis, dia tersenyum karena
melihat malaikat pencabut nyawa tengah berjalan mendekatinya, mengulurkan
tangan dan mengajak pria cantik itu untuk ikut bersamanya.
Jasad
yang tergeletak itu kini sudah tidak berkutik, semua alat indra yang ada
ditubuhnya berhenti bekerja, hanya darah segar yang setia mengalir dari
kepalanya. Wajah pria cantik itu terlihat damai, bibirnya masih menyunggingkan
senyum, senyum yang sempat hilang semenjak kematian kekasihnya. Dia bahagia?
Tentu saja, karena pada akhirnya takdir menyatukannya kembali dengan kekasihnya
-Suzuki Akira-.
[“Kau
akhirnya datang juga, Shime!”] ucap seorang pria sambil tersenyum.
[“Aku
merindukanmu Ue!”] jawab pria cantik yang langsung berhambur kedalam pelukan
pria yang dia panggil Ue. ["Aishiteru..."] lanjut pria cantik itu -Takashima Kouyou-
Begitulah cara Tuhan memberikan kebahagian bagi umatnya. Kepedihan yang selalu
berakhir manis. Kebahagiaan yang mereka dapatkan dalam dimensi lain yang
terlindungi labirin tipis yang sebelumnya menghalangi keduanya.
-Fin-